Selasa, 16 Februari 2021

SKB 3 Menteri : Semakin Meliberalkan Pendidikan

#OPINI


Pemerintah mengeluarkan aturan terkait pemerintah daerah dan sekolah negeri soal seragam beratribut agama. SKB tersebut ditandatangani oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim,  Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian,  dan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas. (Kompas.com, 05/02/2021)

Aturan yang tercantum dalam Surat Keputusan Bersama atau SKB 3 Menteri itu menegaskan bahwa seragam sekolah tidak boleh memiliki identitas keagamaan tertentu.

Enam keputusan utama pakaian seragam di sekolah negeri : Pertama,  SKB 3 Menteri ini mengatur sekolah negeri yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah (pemda).

Kedua,  Peserta didik, pendidik,  dan tenaga kependidikan berhak memilih antara seragam dan atribut tanpa kekhususan agama,  atau seragam dan atribut dengan kekhususan agama.

Ketiga,  pemerintah daerah dan sekolah tidak boleh mewajibkan ataupun melarang seragam dan atribut dengan kekhususan agama.

Keempat,  pemerintah daerah dan kepala sekolah wajib mencabut aturan yang mewajibkan atau melarang seragam atribut dengan kekhususan agama paling lama 30 hari kerja sejak SKB 3 Menteri ini ditetapkan.

Kelima,  jika terjadi pelanggaran terhadap SKB 3 Menteri ini,  maka sanksi akan diberikan kepada pihak yang melanggar. a). Pemda bisa memberikan sanksi kepada kepala sekolah,  guru atau tenaga kependidikan.

b). Gubernur memberikan sanksi kepada bupati/wali kota.

c). Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) memberikan sanksi kepada gubernur.

d). Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) memberikan sanksi kepada sekolah terkait bantuan operasional sekolah (BOS) dan bantuan pemerintah lainnya. 

Tindak lanjut atas pelanggaran akan dilaksanakan sesuai dengan mekanisme yang berlaku. Sementara itu,  Kementrian Agama (Kemenag) akan melakukan pendampingan praktik agama yang moderat dan bisa memberikan pertimbangan untuk pemberian dan pemberhentian sanksi.

Keenam,  peserta didik,  pendidik,  dan tenaga kependidikan beragama Islam di Provinsi Aceh dikecualikan dari ketentuan SKB 3 Menteri ini,  sesuai kekhususan Aceh berdasarkan ketentuan perundang-undangan terkait pemerintahan Aceh.

Surat Keputusan Bersama atau SKB 3 Menteri soal larangan atribut keagamaan hingga kini terus menuai polemik. Menurut Ketua MUI Pusat Dr Cholil Nafis SKB 3 Menteri itu wajib ditinjau ulang atau dicabut karena tak mencerminkan lagi adanya proses pendidikan. Beliau mengatakan bahwa memang usia sekolah itu perlu dipaksa melakukan yang baik dari perintah agama karena untuk pembiasaan pelajar. (Hidayatullah.com,  12/02/2021)

Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Mu'ti mengatakan, pihaknya tidak mempersoalkan SKB 3 menteri tentang seragam sekolah. Apalagi, persoalan itu tidak ada kaitannya dengan mutu pendidikan. (Nasional Okezone.com 06/02/2021)

Adanya SKB 3 Menteri ini,  siswi berhak memilih antara menggunakan kerudung atau tidak. Nah,  ini mengarah kepada budaya liberal karena bebas memilih sesuai keinginannya. Dan jika ada yang meminta mereka untuk mengunakan kerudung maka pihak tersebut dianggap melanggar aturan. Padahal dalam Islam sudah jelas bahwasannya wanita muslimah wajib menutup aurat. Pun juga tidak ada khilafiyah (perbedaan) ulama pada persoalan ini.

Dengan alasan hak setiap siswi, SKB 3 Menteri justru bertentangan dengan tujuan pendidikan untuk mencipta insan yang bertakwa. Alih-alih mendidik agama, malah mendorong kebebasan berperilaku

SKB 3 Menteri ini juga merupakan aturan yang sangat berlebihan karena persoalan seragam sekolah dianggap masalah besar padahal saat ini banyak permasalahan yang lebih urgent yang harus diselesaikan. Pun juga saat ini para pelajar sedang belajar daring, pemerintah malah sibuk menyudutkan umat Islam dengan membuat aturan terkait persoalan seragam sekolah di masa pandemi yang entah kapan berakhirnya.

Beginilah jika kehidupan tidak berlandaskan syariah Islam akan tetapi berlandaskan sekulerisme. Sekulerisme adalah memisahkan agama dari kehidupan. Artinya agama tidak boleh ikut campur dalam persoalan kehidupan dunia. Agama hanya boleh mengatur persoalan yang berkaitan dengan akhirat saja seperti sholat,  zakat,  puasa. Nah,  jika di kehidupan duniawi atau didalam kehidupan publik maka tidak boleh memakai aturan agama akan tetapi harus memakai aturan yang dibuat oleh manusia.

Lebih dari itu siswi muslim di daerah minoritas justru akan terus dirugikan karena SKB ini tidak mungkin menghapus regulasi daerah yang melarang memakai identitas agama. Jadi,  harapan adanya kebebasan berjilbab bagi siswi muslimah Bali dan lain-lain tidak terwujud melalui SKB ini.

Sekulerisme ini berbahaya bagi umat muslim karena memisahkan agama dari kehidupan sehingga dapat menjauhkan umat dari aturan agamanya. Dan pada akhirnya umat harus sesuai dengan nilai-nilai kebebasan ala barat. Jika tidak, maka barat akan melabeli mereka dengan sebutan intoleran,  fundamentalis,  dan radikalis. 

Bahkan untuk semakin memperkuat pengalihan cara pandang umat muslim agar sesuai dengan barat,  barat mendekonstruksi ajaran Islam dengan cara menghembuskan narasi Islamophobia. Sehingga agama Islam terlihat sebagai ajaran yang penuh pengekangan dan hal ini terlihat dari kebijakan SKB 3 Menteri yang syarat nuansa syariah phobia.

Maka dari itu kebijakan-kebijakan yang dihasilkan saat ini lebih mengarah untuk menjauhkan umat islam dari ajaran agamanya. Agar tidak terjadi demikian maka sudah saatnya kembali kepada sistem Islam. Karena hanya dalam sistem Islam yang dapat menerapkan aturan dari sang pencipta (al-khaliq) sekaligus sang pengatur (al-mudabbir) secara menyeluruh (kaffah). Wallahu a'lam.[]


By_Wardah Atikah Rianthoby

Kalimantan Utara,  16 Februari 2021



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Benarkah Sistem Zonasi Untuk Keadilan Akses Pendidikan?

#OPINI Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) melalui jalur zonasi telah dilaksanakan sejak tahun 2017. Ternyata sistem zonasi ini sudah dira...